Ternyata Ini Loh!! Aturan Penggunaan Speker Masjid Versi Pemerintah
Ternyata akibat seringnya protes yang terjadi di Masyarakat, terhadap pemakaian speker masjid yang terlalu keras. Membuat pemerintah mengeluarkan aturan resmi terhadap penggunaan speker Masjid yang terlalu keras dan juga penggunaan speker masjid yang kurang tepat.
Dalam
pidato pembukaan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
se-Indonesia di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, pada
8 Juni 2015 lalu, Kalla mengangkat permasalahan penggunaan pengeras
suara masjid yang, menurutnya, terkadang semena-mena.
Menurutnya pria yang akrab disapa JK itu, pemutaran kaset pengajian menjelang waktu salat melahirkan “polusi suara”.
Lalu, sebenarnya bagaimana aturan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala?
Direktorat Jenderal Bidang Masyarakat Islam, Kementerian
Agama, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara
di Masjid, Langgar, dan Musala.
Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas
Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras
suara di masjid, langgar, atau musalla.
Berikut adalah aturan-aturannya:
1. Perawatan
penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan
yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara
bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak
teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
2. Mereka
yang menggunakan pengeras suara (muadzin, imam salat, pembaca Al-Qur’an,
dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak
cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan
anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh
daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain
menjengkelkan.
3.
Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya
terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu
bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri
tidak menaati ajaran agamanya
4.
Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan
siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang
beribadah, atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali
adzan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya.
Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih
terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala
selain berarti seruan takwa, juga dapat dianggap hiburan mengisi
kesepian sekitarnya.
5. Dari
tuntunan Nabi, suara adzan sebagai tanda masuknya salat memang harus
ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah
tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muadzin
tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Sebagaimana dimuat dalam situs resmi Kementerian Agama,
instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara
baik suara saat salat lima waktu, salat Jumat, juga saat takbir, tarhim,
dan selama Ramadan.
Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam pada 1978 itu juga memuat aturan cukup teknis. Misalnya, yang dimaksud dengan pengeras suara adalah:
"Perlengkapan teknik yang terdiri dari mikrofon, amplifier, loud speaker, dan kabel-kabel tempat mengalirnya arus listrik".
Di dalam lampiran instruksi tersebut juga disebutkan bahwa:
"Syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain adalah tidak boleh terlalu meninggikan suara do’a, dzikir, dan salat".
Lebih lanjut dalam lampiran tersebut dikatakan juga bahwa:
"Pada dasarnya, suara yang disalurkan ke luar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu salat".
Aturan penggunaan pengeras suara masjid pada waktu tertentu secara terperinci adalah sebagai berikut:
A. Waktu Subuh
A. Waktu Subuh
- Untuk membangunkan kaum Muslimin yang masih tidur, membersihkan diri, untuk persiapan kaum Muslimin dalam menunaikan salat subuh dana lainnya. Pengeras suara boleh dipergunakan selama 15 menit sebelum waktu salat subuh untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan lainnya.
- Kegiatan membaca Al-Qur'an bisa menggunakan alat pengeras suara keluar. Dan tidak diperbolehkan untuk menyalurkannya ke dalam karena akan mengganggu orang yang sedang beribadah di dalam masjid.
- Pengeras suara digunakan ketika adzan subuh dan diarahkan ke luar masjid.
- Pelaksanaan salat subuh, pelaksanaan kegiatan kuliah subuh dan yang lainnya bisa menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama'ah) dan hanya ke dalam saja.
B. Waktu dzuhur dan salat Jumat
- Diperbolehkan mempergunakan pengeras suara, diisi dengan bacaan Al-Qur’an, 15 menit menjelang waktu dzuhur dan salah Jumat, ditujukan ke luar.
- Mempergunakan pengeras suara bilamana adzan apa bila telah tiba waktunya.
- Pembacaan bacan-bacaan, pembacaan do’a, pembacaan pengumuman, khutbah Jumat dan lain-lain mempergunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.
C. Ashar, maghrib, dan isya
- Menggunakan pengeras suara keluar untuk pembacaan Al-Qur'an, 5 menit sebelum adzan.
- Ketika waktu salat tiba, muadzin melakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam.
- Setelah pelaksanaan adzan, kegiatan menggunakan pengeras suara ke dalam, sebagaimana waktu yang lainnya.
D. Takbir, tarhim, dan Ramadan
- Kegiatan takbir hari raya Idulfitri, takbir hari raya Iduladha dilakukan dengan menggunakan pengeras suara ke luar.
- Kegiatan tarhim yang berupa do’a boleh menggunakan pengeras suara ke dalam. Sedangkan pelaksanaan tarhim dzikir tidak boleh menggunakan pengeras suara.
- Pada hari-hari di bulan Ramadan, baik siang maupun malam pelaksanaan kegiatan tadarus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara ke dalam.
E. Upacara hari besar Islam dan pengajian
- Pelaksanaan tabligh/pengajian rutin menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam dan tidak untuk ke luar, terkecuali acara tabligh atau pengajian dalam peringatan hari besar Islam menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke luar.
Tidak ada komentar: